PESANTREN BUKAN ALAT POLITIK.



Terkait tahun politik seringkali politisi membawa nama pesantren sebagai strategi untuk memenangkan dirinya, pesantren memiliki daya tarik tersendiri untuk didatangi, "suara kyai suara santri".

Pasangan calon mendatangi pesantren pesantren besar dan minta dukungan kepada para kyai pengasuh pondok pesantren. Perlu kita pahami pesantren bukanlah alat sebagai kepentingan politik, pesantren adalah wadah peserta didik yang menimba atau memperdalam ilmu agama, Ironisnya tidak jarang alumni pesantren ataupun masyarakat resah dikarenakan pengasuh-pengasuh pondok pesantren berbeda pilihan politik. Perbedaan sangatlah wajar hal itu bagian dari ijtihat para pengasuh pondok pesantren, untuk itu masyarakat harus menyikapi secara dewasa artinya masyarakat harus mampu mengenali siapa yang akan dipilih. 

Memilih pilihan politik tidak cukup hanya sekadar melihat dari segi intrinsiknya saja tetapi juga harus melihat dari segi extrinsiknya karena  memilih pilihan politik adalah hak demokrasi bagi setiap warga negara indonesia dan tidak boleh ada intervensi oleh siapapun, Hal itu diatur dalam UU RI NO 39 TAHUN 1999 TENTAMG HAK ASASI MANUSIA (kebebasan pribadi) pasal 23 ayat 1 yaitu setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Dan juga diatur Pasal 187 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang tegas-tegas melarang adanya penghadangan. Ketentuan penghadangan itu menetapkan: “Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah).” Dengan ketentuan ini pelaku penghadangan NS dijatuhi hukuman dua bulan pejara dengan masa percobaan empat bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat (Kompas, 22 Desember 2016). Keputusan yang menjadi pelajaran berharga bahwa perbedaan di dalam memilih tidaklah harus disikapi dengan berlebihan, tetapi kedewasaan sikap seharusnya yang dikedepankan.

Comments

Popular posts from this blog

SECANGKIR KOPI SEMANGAT

sejarah INSUD